Kota Kucing


Haruki dan Kucingnya

Oleh Haruki Murakami


Di stasiun koenji, Tengo naik kereta cepat lewat jalur Chuo. Kereta itu kosong. Hari itu ia bebas pergi kemanapun atau melakukan apapun (atau tak melakukan apapun) sesuai keinginannya. Saat itu pukul sepuluh, di pagi musim panas yang tak berangin. Matahari begitu menyengat. Kereta melewati Shinjuku, Yotsuya, Ochanomizu, dan tiba di pusat Tokyo−akhir dari jalur ini. Semua penumpang turun, Tengo pun ikut turun. Lalu ia duduk di sebuah bangku dan berpikir kemana sebaiknya ia pergi. “Aku bisa pergi kemanapun, aku yang memutuskan,” katanya pada diri sendiri. “Sepertinya sepanjang hari ini akan panas, Aku bisa pergi ke pantai.” Dia mengangkat kepala dan mempelajari panduan jalur kereta api.

Pada titik itu, ia menyadari apa yang telah ia pikirkan.

Ia menggelengkan  kepala beberapa kali, tetapi gagasan yang terlanjur di kepalanya tak mau pergi. Mungkin ia sudah memutuskan secara tidak sadar, saat ia naik kereta jalur Chuo di Koenji. Dia menghela napas, beranjak dari bangku dan bertanya ke petugas stasiun kereta mana yang tercepat untuk sampai ke Chikura. Pria itu membolak-balik buku tebal jadwal kereta api. Dia harus mengambil kereta cepat khusus pada pukul 11:30 yang menuju Tateyama, kata pria itu, lalu berpindah ke kereta lokal; ia akan sampai di Chikura sekitar pukul dua lebih sedikit. Tengo membeli tiket pulang pergi Tokyo-Chikura. Kemudian ia pergi ke restoran yang ada di stasiun dan memesan nasi kari dan salad.

Pergi untuk menengok ayahnya adalah gagasan yang menyedihkan. Dia tidak pernah menyukai orang itu, dan ayahnya juga sepertinya tidak terlalu mencintainya. Dia pensiun empat tahun lalu, dan sesaat setelahnya ia harus di rawat di sanatorium di Chikura−tempat khusus untuk pansien gangguan kognitif. Sebelumnya Tengo sudah pernah berkunjung, tak lebih dari dua kali. Yang pertama, ketika ayahnya pertama kali memasuki ke tempat itu. Masalah prosedural mengharuskan Tengo−sebagai satu-satunya kerabat−untuk hadir di sana. Kunjungan kedua juga berurusan dengan masalah administratif. Dua kali: itu saja.

Sanotarium itu berdiri di atas bidang tanah yang luas di tepi pantai. Suatu kombinasi aneh dari bangunan kayu tua yang elegan dan gedung-gedung baru bertingkat tiga. Udara selalu segar, selain deru ombak, tempat itu selalu sepi. Deretan pohon pinus berfungsi sebagai penahan angin di tepi taman. Fasilitas medisnya luar biasa dengan asuransi kesehatan, pesangon, tabungan, dan uang pensiun, ayah Tengo bisa menghabiskan sisa hidupnya di sana dengan nyaman. Dia memang tidak meninggalkan warisan yang cukup banyak, tetapi setidaknya ada pihak yang mengurusnya, dan untuk itu Tengo sangat berterimakasih sekali. Tengo tak berniat mengambil apapun darinya atau memberi sesuatu padanya. mereka adalah dua manusia terpisah yang berasal dari−dan sedang menuju−tempat yang sama sekali berbeda. Secara kebetulan mereka menghabiskan beberapa tahun hidup bersama−itu saja. Sungguh memalukan hal itu terjadi, tetapi tak ada yang bisa Tengo lakukan.

Tengo membayar tiket dan menuju peron menunggu kereta tujuan Tateyama,  satu-satunya sesama penumpang yang menunggu tujuan itu adalah sekeluarga yang terlihat bahagia−yang akan berlibur ke pantai untuk beberapa hari.

Kebanyakan orang berpikir minggu adalah hari untuk istirahat. Namun, semasa kanak-kanaknya Tengo tidak pernah melihat minggu sebagai hari untuk bersantai. Baginya, Minggu bagaikan bulan cacat yang hanya menyampaikan sisi gelapnya. Setiapkali akhir pekan datang, tubuhnya mulai merasakan lesu dan sakit, selera makannya pun langsung menghilang. Dia bahkan berdoa supaya Minggu tidak pernah datang, meskipun doanya tak pernah terjawab.

Saat Tengo masih bocah, ayahnya adalah penagih iuran berlangganan NHK−stasiun TV dan radio milik pemerintahan Jepang−dan setiap minggu ia akan mengajak Tengo untuk berkeliling dari pintu ke pintu untuk menagih iuran. Tengo sudah ikut berkeliling sebelum ia masuk ke taman kanak-kanak sampai kelas lima, di setiap akhir pekan−tanpa sama sekali libur. Ia tidak tahu apakah penagih iuran NHK lainnya juga bekerja di hari minggu, namun sepanjang yang ia ingat, ayahnya selalu bekerja di hari Minggu. Jika ada hal yang membuat ayahnya lebih bersemangat adalah, karena di hari Minggu ia bisa memergoki orang-orang yang biasanya keluar di hari-hari biasa.

Ayah Tengo memiliki beberapa alasan mengapa membawanya keliling. Alasan pertama, dia tidak bisa meninggalkan Tengo seorang di rumah. Di hari-hari biasa dan sabtu, Tengo bisa pergi  ke sekolah atau penitipan siang hari, tetapi pada hari Minggu keduanya tutup. Alasan lainnya, kata ayah Tengo, adalah penting bagi seorang ayah untuk menunjukan kepada anaknya pekerjaan macam apa yang ia lakukan. Seorang anak harus belajar sejak dini tentang pekerjaan yang menopangnya, dan dia harus menghargai pentingnya kerja keras. Ayah tengo selalu dipaksa untuk bekerja di ladang orangtuanya, baik di hari minggu atau di hari-hari lainnya, sejak dia dianggap cukup umur untuk memahami segala sesuatu. Dia bahkan harus meninggalkan sekolah selama musim sibuk. Baginya kehidupan seperti itu adalah hal yang biasa.

Alasan ketiga dan yang terakhir adalah masalah taktikal, inilah yang meninggalkan bekas luka yang dalam di hati Tengo. Ayah Tengo sadar, dengan membawa anak kecil bersamanya akan membuat pekerjaannya lebih mudah. Bahkan orang-orang yang tidak memiliki niat untuk membayar, pada akhirnya akan terpaksa mengeluarkan uang karena ada seorang anak kecil yang menatapnya. Itulah mengapa ayah Tengo sengaja menyimpan rumah-rumah yang sulit di tagih untuk hari Minggu. Sejak awal Tengo tau ini adalah peran yang harus ia mainkan, dan dia benar-benar membencinya. Tetapi ia juga merasa harus memainkannya sebaik mungkin untuk menyenangkan ayahnya. Jika ia bisa membuat ayahnya senang, ia akan diperlakukan dengan baik di hari itu. Seperti monyet yang terlatih.

Satu-satunya yang menghibur Tengo adalah, area tugas ayahnya yang cukup jauh dari rumah. Mereka tingal di daerah pemukiman pinggiran di luar kota Ichikawa, dan area tugas ayahnya ada di pusat kota. Setidaknya ia tidak harus berada di depan pintu rumah teman-teman sekelasnya. Bagaimanapun juga, terkadang saat sedang melintas di pusat pembelanjaan dia melihat teman sekelasnya jalan, ketika ini terjadi, dia merunduk di belakang ayahnya agar tidak terlihat.

Pada senin pagi, teman-teman sekolahnya biasanya akan bercerita dengan semangat ke mana dan apa yang mereka lakukan  di hari sebelumnya. Mereka  pergi ke taman hiburan, kebun binatang, dan menyaksikan pertandingan bisbol. Pada musim panas mereka pergi berenang, pada musim dingin bermain ski. Tetapi Tengo tidak memiliki apa pun untuk diceritakan. Dari pagi hingga malam di hari Minggu, dia dan ayahnya memencet bel pintu rumah-rumah orang asing, menundukan kepala, dan mengambil uang dari siapapun yang keluar dari pintu. Jika orang itu tidak mau membayar, ayah akan mengancam atau membujuk mereka.  Jika mereka berdalih, ayah akan meninggikan suaranya. Terkadang ia akan mengutuk mereka seperti anjing liar. Pengalaman semacam itu bukanlah hal yang bisa ia bagikan ke teman-temannya. Di tengah anak-anak kelas menengah pekerja kerah putih, Tengo tidak bisa merasa tidak seperti alien. Dia menjalani kehidupan berbeda di dunia yang berbeda. Untungnya di kelas ia mendapatkan nilai yang bagus, seperti kemampuan atletiknya. Jadi meskipun ia adalah alien, dia tidak pernah menjadi orang asing. Dalam banyak hal ia diperlakukan dengan hormat. Tapi setiap kali anak-anak lain mengajaknya untuk pergi ke suatu tempat atau mengunjungi rumah mereka pada hari Minggu, dia harus menolaknya. Segera, mereka pun berhenti bertanya.

Terlahir sebagai anak ketiga dari sebuah keluarga petani di daerah Tohoku yang keras, ayah Tengo meninggalkan rumah secepat mungkin untuk bergabung dengan kelompok transmigran yang menyebrang ke Manchuria di tahun 1930-an. Dia tidak percaya klaim pemerintah yang menyatakan Manchuria adalah surga dimana tanahnya luas dan kaya. Dia cukup tahu, bahwa “surga” tak bisa ditemukan di mana pun. Dia hanya miskin dan lapar. Yang bisa diharapkan jika tinggal di rumah adalah kehidupan di ambang kelaparan. Di Manchuria, dia dan para transmigran lainnya diberi peralatan pertanian dan senjata ringan. Bersama-sama mereka mulai mengolah tanah. Tanahnya tandus dan berbatu, jika musim dingin semuanya membeku. Kadang-kadang mereka harus memakan anjing liar. Meski begitu, berkat bantuan pemerintah di tahun pertama, mereka berhasil bertahan. Kehidupan mereka akhirnya lebih stabil, tetapi sayangnya, pada bulan agustus 1945, Uni soviet meluncurkan invasi besar-besaran ke Manchuria. Ayah Tengo telah menduga ini akan terjadi−karena diam-diam ia diberi tahu keadaan yang akan terjadi oleh salah satu petugas yang menjadi temannya. Begitu ia mendengar soviet sudah melewati perbatasan, ia meloncat ke atas kudanya dan  melesat menuju stasiun kota terdekat, dan naik kereta kedua terakhir. Ia adalah satu-satunya transmigran yang berhasil kembali ke jepang sebelum akhir tahun itu.

Setelah perang usai, ayah Tengo pergi ke Tokyo dan mencoba mencari nafkah menjadi pedagang gelap dan belajar bertukang, tetapi ia hampir tidak bisa mempertahankan hidupnya. Dia sedang bekerja sebagai pengantar toko minuman keras di Akasuka ketika ia bertemu dengan teman lamanya, petugas yang ia kenal di Manchuria. Ketika pria itu mengetahui ayah Tengo mengalami kesulitan untuk menemukan pekerjaan yang layak, dia menawarkan untuk merekomendasikannya kepada seorang temannya di departemen berlangganan NHK. Ayah Tengo dengan senang hati menerimannya. Dia tidak tahu apa-apa tentang NHK, tetapi dia mencoba apapun yang menjajikan penghasilan tetap.

Di NHK ayah Tengo melaksanakan tugasnya dengan penuh semangat. Kekuatan utamanya adalah kegigihan menghadapi kesulitan. Bagi sesorang yang kekurangan makanan sejak lahir, mengumpulkan iuran NHK bukanlah pekerjaan yang menyiksa. Kutukan paling tidak bershabat yang dilontarkan padanya bukanlah apa-apa. Selain itu, ia merasa puas menjadi salah satu bagian dari organisasi penting, meskipun hanya menjadi anggota rendahan. Pekerjaan dan sikapnya sangat luar biasa, sehingga ketika sudah satu tahun bekerja, ia diangkat menjadi karyawan tetap, prestasi yang hampir tidak pernah terjadi di NHK. Dia pun bisa menempati gedung apartemen perusahaan dan mendapatkan asuransi kesehatan. Itu adalah keberuntungan terbesar yang pernah ia miliki dalam hidupnya.

Ayah Tengo muda tidak pernah menyanyikanya nina bobo, tidak pernah membacakan buku sebagai pengantar tidur. Sebaliknya, ia menceritakan kisah-kisah  tentang pengalaman hidupnya. Dia pendongeng yang baik. Kisah-kisah masa kecil mudanya sama sekali tak mengandung makna, tetapi begitulah hidup. Ada kisah-kisah lucu, kisah-kisah mengharukan, dan kisah-kisah penuh kekerasan. Jika hidup dapat diukur dengan beragam warna dan ragam episodenya, kehidupan ayah Tengo begitu kaya dengan caranya sendiri, mungkin. Namun ketika kisahnya sampai di masa ia menjadi karyawan NHK, daya hidup itu tiba-tiba menghilang. Dia bertemu seorang wanita, menikahinya, dan memiliki seorang anak−Tengo. Beberapa bulan setelah lahir, ibunya jatuh sakit kemudian meninggal. Ayahnya membesarkannya sendiri setelah itu, disamping bekerja keras untuk NHK. Bagaimana dia bertemu ibu Tengo dan menikahinya, wanita seperti apa dia, apa yang menyebabkan kematiannya, apakah kematiannya mudah atau sangat menderita−ayah Tengo hampir tidak pernah menceritakannya. Jika Tengo mencoba bertanya, ia akan langsung menghindar. Seringkali, pertanyaan semacam itu akan membuat suasana hati ayah Tengo menjadi buruk. Tidak ada satu pun foto ibu Tengo yang tersisa.

Pada dasarnya, Tengo tidak percaya pada kisah yang diceritakan ayahnya. Dia tahu bahwa ibunya tidak meninggal beberapa bulan setelah ia lahir. Di dalam satu-satunya ingatan tentangnya, dia yang berumur satu setengah tahun melihat ibunya yang berada di tempat tidur dalam pelukan seorang lelaki yang bukan ayahnya. Ibunya menanggalkan blusnya, melepas tali pakaian dalamnya, dan membiarkan lelaki itu menghisap payudaranya. Tengo tidur di samping mereka, napasnya terdengar tenang. Tetapi dia tidak tidur. Dia sedang memperhatikan ibunya.

Itu satu-satunya gambaran tentang ibunya yang Tengo miliki. Adegan sepuluh detik itu terekam di otaknya dengan kejelasan sempurna. Satu-satunya informasi konkret yang ia miliki tentang ibunya. Dia dan ibunya dihubungkan tali pusar hipotesis ini. Tetapi ayahnya tidak tahu sama sekali bahwa adegan ini hidup dalam ingatan Tengo.

Saat dewasa, Tengo sering bertanya-tanya apakah lelaki muda yang menghisap payudara ibunya dalam penglihatan-nya itu adalah ayah kandungnya. Tengo sama sekali tidak mirip dengan ayahnya, agen penagih NHK  yang masyhur itu. Tengo bertubuh tinggi gelap, dahi lebar, hidungnya yang sempit dan telinga yang agak bundar. Sementara ayahnya bertubuh pendek dan sama sekali tidak mengesankan. Dahinya sempit, hidung  datar dan telinga yang runcing seperti kuda. Tengo terlihat tenang dan murah hati, sementara ayahnya terlihat gugup dan kikir. Membandingkan keduannya,  orang-orang cenderung mengomentari ketidaksamaan mereka.

Namun, apa yang membuat Tengo ragu bukanlah permasalahan fisik, tetapi lebih ke hal psikologis. Ayahnya tak sedikitpun menunjukan gairah intelektual. Memang, karena lahir dalam kemiskinan, ayahnya tidak memiliki pendidikan yang layak. Untuk itu Tengo merasa kasihan. Tetapi hasrat dasar untuk memperoleh pengetahuan−yang menurut Tengo dorongan alami yang ada pada setiap diri orang−sama sekali tidak ada dalam diri pria itu. Dia memiliki semacam kebijaksanaan praktis yang membuatnya bertahan hidup, tetapi Tengo sama sekali tidak menemukan dalam diri ayahnya dorongan untuk memperdalam diri, untuk melihat lebih luas. Dia sepertinya nyaman-nyaman saja hidup dalam udara yang mandek dari kehidupan yang sempit. Tengo tak sekalipun melihatnya membaca  buku. Dia tidak tertarik pada musik atau film, juga tidak pernah berpergian. Satu-satunya hal yang membuatnya menarik adalah rute penagihan. Dia akan membuat peta area, menandai dengan, pensil warna, dan memeriksanya setiapkalli memiliki waktu luang−seperti ahli biologi mempelajari kromosom.

Tengo sebaliknya, ingin tahu segalanya. Dia menyerap berbagai macam pengetahuan dengan efisiensi luar biasa. Sejak kecil ia sudah dianggap mempunyai bakat di bidang matematika, dia bahkan bisa memecahkan soal matematika SMA saat ia baru duduk di kelas tiga SD. Matematika, bagi Tengo muda, adalah pelarian terbaik dari kehidupan ayahnya. Di dalam dunia matematika, dia akan berjalan menyusuri koridor panjang dan membuka pintu bernomor satu demi satu. Setiap kali pertunjukan baru muncul di hadapannya, segala hal buruk di dunia nyata akan menghilang begitu saja. Selama menjalani dunia tak terbatas itu, dia merasa bebas.

Sementara matematika layaknya bangunan imajiner yang megah bagi Tengo, sastra adalah hutan ajaib yang luas. Matematika menjulang ke atas, ke arah langit, tetapi kisah-kisah membentang luas di hadapannya, akar kokoh mereka mencengkram erat jauh di dalam tanah. Di hutan itu tidak ada peta, tidak ada pintu. Semakin bertambahnya usia Tengo, hutan cerita mengerahkan tarikan yang lebih kuat di hatinya daripada matematika. Tentu saja, membaca novel hanya salah satu bentuk pelarian−begitu dia menutup buku, dia harus kembali ke dunia nyata. Tetapi pada suatu titik dia menyadari bahwa kembali ke dunia nyata dari hutan cerita, tidaklah semengerikan dari kembali dari dunia matematika. Mengapa begitu? Setelah berpikir lama ia memiliki kesimpulan. Tidak peduli seberapa jelas hal-hal yang mungkin terjadi dalam hutan cerita, tidak ada solusi yang jelas dan pasti seperti yang ada dalam dunia matematika. Peran sebuah cerita adalah, dalam pengertian lain, mengubah sebuah persoalan ke bentuk yang lain. Tergantung dari sifat dan arah persoalan, solusi atau mungkin saran di sisipkan dalam narasi−dengan ini, Tengo kembali ke dunia nyata. Seperti selembar kertas bertuliskan sihir yang tak terbaca; ia memang tidak ditulis untuk tujuan praktis, tetapi mengandung kemungkinan.

Salah satu solusi yang mungkin ia dapatkan dari bacaan adalah ini: ayah kandungku pasti berada disuatu tempat di dunia ini. Seperti anak malang yang ada di dalam novel Dickens, Tengo mungkin telah dituntun oleh suatu keadaan aneh untuk dibesarkan oleh seorang penipu. Kemungkinan seperti ini merupakan mimpi buruk sekaligus harapan besar. Setelah membaca Oliver Twist, Tengo menjajaki buku Dickens yang  ada diperpustakaan. Dengan mengarungi kisah-kisah Dickens, dia merasa terwakili dan membayangkan kisah-kisah itu bedasarkan versinya sendiri. Fantasinya semakin jauh dan kompleks. Mereka mengikuti satu pola, tetapi variasinya tak terbatas. Di dalamnya, Tengo mengatakan pada dirinya sendiri bahwa rumah ayahnya bukanlah tempatnya untuk pulang. Dia telah dikunci di dalam kerangkeng itu, dan suatu hari orangtua kandungnya datang untuk membebaskan dan menyelamatkannya. Lalu dia akan memiliki hari minggu yang paling indah, damai, dan bebas.

Ayah Tengo membanggakan dirinya sendiri untuk nilai-nilai anaknya yang sangat baik, dan membualkan itu kepada para tetangga. Namun pada waktu yang sama, ia menunjukan suatu ketidaksenangan dengan kecemerlangan dan bakat Tengo. Seringkali ketika Tengo sedang belajar, ayahnya mengganggu dengan memerintahkannya melakukan pekerjaan rumah, atau mengomeli tentang perilakunya yang dianggap tidak sopan. Isi omelannya selalu sama: disini rupanya, berkeliaran setiap hari hingga lusuh, tidak punya sopan santun−sementara Tengo diam dan menerima setiap ocehannya. Mencoba hidup dengan nyaman. “Mereka menyuruhku bekerja sangat keras ketika aku seumuranmu, dan ayah dan kaka laki-lakiku akan memukuliku hingga lebam untuk segala hal. Mereka tak pernah memberiku cukup makan. Mereka memperlakukanku seperti binatang. Aku tidak ingin kau merasa istimewa hanya karena mendapatkan nilai bagus.”

Pria ini mungkin iri padaku, Tengo mulai berpikir sampai titik tertentu. Dia cemburu, entah pada pribadiku atau tujuan hidup yang aku tuju. Tapi apakah mungkin seorang ayah merasa cemburu terhadap anaknya sendiri? Tengo tak ingin menghakimi ayahnya, namun ia tidak bisa menahan kesedihan atas kepicikan ayahnya yang berasal dari kata-kata dan perlakuannya. Mungkin ayah Tengo tidak membencinya sebagai seorang pribadi, namun dengan sesuatu yang ada di dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia maafkan.

 

Setelah kereta meninggalkan stasiun Tokyo, Tengo mengeluarkan buku paperback yang ia bawa. Kumpulan cerita pendek dengan tema perjalanan, termasuk dongeng berjudul “Kota Kucing”−dongeng fantasi karangan penulis Jerman yang belum pernah Tengo dengar. Menurut kata pengantar cerita itu ditulis pada masa di antara perang dunia I dan II.

Pemuda dalam cerita itu melakukan perjalanan sendiri tanpa tujuan yang jelas. Dia naik kereta, dan di setiap pemberentihan yang menarik minatnya dia akan turun. Lalu dia akan mencari penginapan, melihat-lihat dan tinggal selama yang dia suka. Ketika merasa cukup, dia akan naik kereta lagi. Beginilah cara mengisi liburan.

Suatu hari dia melihat sungai cantik dari jendela kereta. Perbukitan hijau yang indah terbentang sepanjang sungai yang berkelak-kelok. Di bawahnya terbentang sebuah kota kecil yang cantik dengan jembatan batu tua. Kereta berhenti di stasiun kecil, pemuda itu turun membawa tasnya. Tidak ada penumpang lain yang turun, dan begitu ia turun, kereta langsung berangkat.

Tidak ada petugas di stasiun itu−mungkin karena stasiun ini jarang digunakan. Pemuda itu menyebrangi jembatan dan berjalan menuju kota. Semua toko tutup. Alun-alun  juga sangat sepi. Tak seorangpun menempati meja di satu-satunya hotel yang ada di kota itu. Tempat ini tampaknya benar-benar tak berpenghuni. Mungkin semua orang sedang tidur si suatu tempat. Tapi sekarang baru pukul sebelas pagi, terlalu dini untuk tidur. Mungkin sesuatu menyebabkan semua orang pergi meninggalkan kota, karena kereta berikutnya tak mungkin datang sampai pagi berikutnya, tidak ada pilihan lain baginya selain bermalam di sini. Dia berkeliaran menyusuri kota untuk menghabiskan waktu.

Namun sebenarnya, ini adalah kota kucing. Saat matahari terbenam, kucing-kucing berdatangan. Mereka menyebrangi jembatan dan memasuki kota−kucing-kucing dari berbagai jenis dan warna. Mereka lebih besar dari kucing biasa, tetapi mereka tetap kucing. Pemuda itu terkejut melihat pemandangan ini. Dia bergegas ke menara lonceng yang berada di tengah kota dan naik ke puncak untuk bersembunyi. Mereka membuka toko-toko atau duduk dibelakang meja untuk memulai pekerjaan sehari-hari mereka. Semakin banyak kucing yang datang dari arah jembatan. Mereka memasuki toko-toko untuk membeli berbagai keperluan. Ada yang pergi ke balai kota untuk mengurus permasalahan administrasi, atau makan di restoran hotel atau minum bir di kedai dan menyanyikan lagu-lagu kucing dengan bersemangat. Karena kucing dapat melihat dalam kegelapan, mereka hampir tidak membutuhkan pencahayaan, tetapi malam itu cahaya bulan purnama membanjiri sepenjuru kota−sehingga pemuda itu dapat menyaksikan semuanya dari atas menara lonceng. Ketika fajar menjelang, kucing-kucing itu menyelesaikan pekerjaannya, menutup toko-toko dan berkerumun kembali menyebrangi jembatan.

Saat matahari terbit, kucing-kucing itu sudah pergi, dan kota kembali sunyi. Pemuda itu turun, pergi ke salah satu kamar hotel dan tidur. Ketika lapar, ia makan roti dan ikan yang tertinggal di dapur. Saat petang mendekat, dia bersembunyi lagi di menara lonceng lagi dan mengamati segala aktifitas kucing-kucing hingga fajar. Kereta berhenti di stasiun sebelum tengah hari dan sore hari. Tak seorangpun penumpang yang turun−apalagi naik. Namun tetap saja, kereta akan berhenti selama satu menit, lalu berangkat lagi. Dia bisa naik salah satu kereta ini dan meninggalkan kota yang menyeramkan itu. Tetapi ia tidak melakukannya. Ia masih muda, dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan semangat berpetualang. Ia ingin lebih banyak melihat tonntonan aneh ini. Jika memungkinkan, ia ingin tahu kapan dan bagaimana tempat ini menjadi kota kucing.

Di malam ketiga keriuhan pecah di alun-alun di bawah menara lonceng. “Hei, apakah kau mencium semacam bau manusia?” kata salah satu kucing. "Setelah kau mengatakannya, kurasa ada semacam bau aneh beberapa hari terakhir,” kucing lain  menanggapi, sambil mengendus-enduskan hidungnya. “Aku juga,” kata yang lain. “Aneh, tidak boleh ada manusia di sini,” seekor kucing lain menanggapi. “Tidak, tentu saja tidak. Tidak mungkin manusia bisa masuk ke kota kucing ini.” “Tapi bau itu jelas-jelas ada di sini.”

Mereka membentuk kelompok dan memulai pencarian ke seluruh penjuru kota−seperti pasukan-pasukan penjaga. Hanya sedikit waktu yang mereka butuhkan untuk menemukan sumber bau. Pemuda itu mendengar suara langkah kaki lembut menaiki tangga. Sialan mereka menemukanku! Pikir pemuda itu. Bau tubuhnya mungkin telah membuat kucing-kucing itu marah. Manusia seharusnya tidak menginjakan kaki di kota ini. Mereka memiliki cakar yang besar dan taring yang tajam. Dia tidak tau nasib buruk apa yang menunggunya jika berhasil tertangkap, tetapi dia yakin, mereka tidak akan membiarkannya keluar dari kota ini hidup-hidup.

Tiga ekor kucing naik ke puncak menara lonceng dan mengendus udara. “Aneh,” kata salahsatu dari mereka, kumisnya bergerak-gerak, “Aku mencium bau manusia, tetapi tak seorangpun ada di sini.”

“Memang aneh,” kata kucing kedua. “Tapi benar-benar tidak ada manusia di sini. Mari kita pergi dan mencari ke tempat lain.”

Mereka menggelengkan kepala, bingung, lalu menuruni tangga. Pemuda itu mendengar langkah kaki mereka menghilang ke dalam kegelapan malam. Dia menarik napas lega, tetapi tidak mengerti apa yang barusan terjadi. Tampaknya mustahil mereka bisa luput seperti itu. Tetapi untuk alasan tertentu mereka tidak bisa melihatnya. Dia memutuskan, ketika pagi tiba ia akan bergegas ke stasiun dan meninggalkan kota ini. Keberuntungan tidak akan bertahan selamanya.

Akan tetapi, keesokan harinya kereta tak berhenti di stasiun. Dia melihat kereta itu lewat, tetapi tidak mengurangi kecepatannya. Begitu juga dengan kereta sore. Dia melihat masinis di ruang kendali, tetapi kereta tak memperlihatkan tanda-tanda akan berhenti. Seolah-olah tak seorang pun yang melihat pemuda itu−atau bahkan stasiun itu sendiri. Setelah kereta sore menghilang di kejauhan, tempat itu menjadi lebih sunyi daripada sebelumnya. Matahari mulai tenggelam. Sudah waktunya kucing-kucing itu berdatangan. Ini adalah tempat dimana ia ditakdirkan untuk menghilang. Ini adalah dunia lain yang telah dipersiapkan khusus untuknya.  Dan untuk selama-lamanya, tidak ada kereta yang akan berhenti di stasiun ini untuk membawanya ke dunia tempat di mana dia berasal.

Tengo membaca cerita ini dua kali. Kalimat “Ini adalah tempat dimana ia ditakdirkan untuk menghilang,” menarik perhatiannya. Dia menutup buku dan memandangi suasana industri yang membosankan di luar jendela. Setelah itu ia tertidur−bukan tidur yang panjang, tetapi dalam. Saat terbangun, tubuhnya basah oleh keringat. Kereta itu bergerak di sepanjang garis pantai selatan Semenanjung Boso di pertengahan musim panas.

 

Disuatu pagi saat Tengo duduk di kelas lima, setelah berpikir matang-matang, ia memutuskan untuk berhenti mengikuti ayahnya berkeliling pada hari Minggu. Dia mengatakan pada ayahnya bahwa ia akan menggunakan waktu untuk belajar, membaca buku, dan bermain dengan anak-anak lain. Dia ingin menjalani hidup normal seperti yang lainnya.

Tengo mengatakan apa yang perlu ia katakana dengan ringkas dan logis.

Ayahnya marah, tentu saja. Persetan dengan apa yang dilakukan oleh keluarga lain, katanya. “Kita memiliki cara kita sendiri dalam melakukan sesuatu. Dan jangan sekalipun berbicara dengan ku tentang ‘kehidupan normal’, Tuan yang tahu segala-galannya. Apa yang kamu ketahui tentang ‘kehidupan normal’?” Tengo tidak mencoba berdebat dengannya. Dia hanya menatap diam, tahu tidak satupun kata yang akan masuk ke dalam kepala ayahnya. Akhirnya, ayahnya mengatakan kalau dia tidak mau mendengarkan, ia tidak akan diberi makan. Dia harus pergi dari rumah.

Tengo melakukan apa yang dikatakan ayahnya. Dia telah mengambil keputusan. Dia tidak akan takut. Sekarang setelah mendapatkan izin untuk meninggalkan dari kerangkengnya, dia merasa sangat lega. Tetapi mana mungkin seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun bisa hidup sendiri. Ketika istirahat siang, dia mengakui kesulitannya kepada gurunya. Seorang wanita lajang berusia tiga puluhan, berpikiran terbuka dan ramah. Dia mendengar cerita Tengo dengan penuh perhatian, dan malamnya ia membawa kembali ke rumah ayahnya dan mencoba mengajaknya berunding.

Tengo diminta untuk meninggalkan ruangan, jadi dia tak tahu apa yang mereka bicarakan. Tetapi  akhirnya, ayahnya terpaksa menyarungkan kembali pedangnya. Semarah apapun, ia tidak bisa membiarkan anak laki-laki berusia sepuluh tahun berkeliaran seorang diri di jalanan. Ada hukum yang mengatur bahwa orangtua bertugas untuk menunjang anaknya.

Sebagai hasil perundingan antara guru dan ayahnya, Tengo bebas untuk menghabiskan hari Minggu sesuka hatinya. Hak pertama yang bisa ia menangkan dari ayahnya. Dia telah mengambil langkah pertamanya menuju kebebasan dan kemerdekaan.

 

Di meja resepsionis sanotarium, Tengo menyebutkan namanya dan nama ayahnya. Perawat itu bertanya “Apakah anda memberitahu kami kalau anda akan berkunjung?” suaranya terdengar sedikit tajam. Wanita itu bertubuh mungil, mengenakan kacamata berbingkai logam, dan rambut pendeknya terlihat keabu-abuan.

“Tidak, aku baru datang pagi tadi dan baru berniat datang ke sini saat sedang di kereta,” jawab Tengo jujur.

Wanita itu memberinya tatapan agak jijik. Lalu berkata, “Pengunjung seharusnya memberi kami dahulu sebelum menjenguk pasien. Kami memiliki jadwal berkunjung, kesediaan pasien juga perlu diperhitungkan.”

“Maaf aku tidak tahu.”

“Kapan anda terakhir kali berkunjung?”

“Dua tahun lalu.”

“Dua tahun lalu,” katanya sambil memeriksa daftar pengunjung menggunakan ujung bolpoin. “Maksud anda, anda tidak pernah berkunjung sekalipun dalam dua tahun ini?”

“Benar,” kata Tengo.

“Menurut catatan kami, anda adalah satu-satunya kerabat Pak Kawana.”

“Ya, itu benar.”

Dia  memandang Tengo sekilas, tapi tidak mengucapkan apapun. Tatapan matanya tidak menyalahkan, hanya memeriksa kebenaran. Tampaknya apa yang dilakukan Tengo bukan hal aneh lagi.

“Pada saat ini, ayah Anda di kelompok rehabilitasi. Setengah jam lagi selesai. Lalu anda bisa melihatnya.

“Bagaimana keadaannya?”

“Secara fisik, ia sehat. Sementara di bagian lain ia mengalami pasang surut,” katanya, mengetuk pelipisnya dengan jari telunjuk.

Tengo mengucapkan terima kasih dan menuju ruang tunggu di samping pintu masuk−melanjutkan membaca bukunya. Angin berembus membawa aroma laut dan pohon-pohon pinus penahan angin di luar mengeluarkan bunyi yang menentramkan. Tonggeret menempel di dahan-dahan pohon, menjerit-jerit. Musim panas telah mencapai puncaknya, tetapi tonggeret itu nampaknya tahu bahwa musim panas tidak akan berlangsung selamanya.

Akhirnya perawat berkacamata itu datang dan meberi tahu Tengo bahwa ia dapat menemui ayahnya sekarang. “Saya akan mengantar anda ke kamarnya,” katanya. Tengo bangkit dari sofa dan, ketika melewati cermin besar di dinding, betapa cerobohnya pakaian yang ia kenakan: kaus jeff beck di bawah jaket denim dengan kancing yang tidak cocok, celana chino dengan noda saus pizza di dekat salah satu lututnya, topi bisbol−setelan yang sama sekali tidak pantas dikenakan seorang pemuda berusia tiga puluh tahun ketika pertama kali mengunjungi ayahnya di rumah sakit. Dia juga tidak membawa sesuatu yang berfungsi sebagai oleh-oleh. Maka tak heran kalau perawat itu memberinya tatapan jijik.

Ayah tengo berada di kamarnya, duduk di depan jendela yang terbuka. Di atas meja diletakan sebuah vas dengan bunga-bunga kuning lembut. Lantai terbuat dari material yang empuk untuk menghindari cedera kalau ada yang terjatuh. Awalnya Tengo tidak menyadari kalau lelaki tua yang duduk di depan jendela itu adalah ayahnya. Tubuhnya telah menyusut−“layu” mungkin lebih tepat. Rambutnya pendek dan seputih rumput yang berselimutkan embun beku. Pipinya cekung, mungkin itu yang membuat rongga matanya terlihat lebih besar daripada sebelumnya. Alisnya sangat panjang dan lebar; yang membuatnya tampak seperti sayap kelelawar. Dari kejauhan, ia tidak tampak seperti manusia, tapi lebih mirip tikus atau tupai−mahkluk dengan segala kelicikan. Dia, bagaimanapun juga adalah ayah Tengo−atau lebih tepatnya, sisa-sisa ayah Tengo.  Ayah yang Tengo ingat adalah seorang pekerja keras yang kasar. Intropeksi dan imajinasi mungkin asing baginya, tetapi ia memiliki moralnya sendiri dan kenginan yang kuat. Pria yang ada di depan Tengo kali ini hanyalah cangkang kosong.

“Pak kawana,” perawat itu berkata pada ayah Tengo dengan suara yang jelas, yang harus ia latih untuk berbicara dengan pasien. “Pak kawana! Lihatlah siapa yang datang ke sini! Putra anda, dari Tokyo!”

Ayah Tengo berpaling ke arahnya. Matanya yang tanpa ekspresi mengingatkan Tengo akan dua sarang burung walet yang menggantung di atap.

“Halo,” kata Tengo.

Ayahnya tidak mengatakan apa-apa. Sebaliknya, dia menatap Tengo lekat-lekat, seolah-olah sedang membaca Koran dengan bahasa asing.

“Makan malam dimulai pukul enam tiga puluh,” kata perawat itu pada tengo. “anda boleh di sini hingga saat itu.”

Tengo ragu sesaat setelah perawat itu pergi, lalu mendekati ayahnya dan duduk di kursi yang ada di depannya. Mata ayahnya mengikuti gerakan Tengo.

“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Tengo.

“Saya baik-baik saja, terimakasih,” jawab ayah Tengo dengan formal.

Setelah itu, Tengo tidak tahu harus berkata apa. Sambil memain-mainkan kancing jaket denimnya, Tengo mengalihkan pandangannya ke arah pohon-pohon pinus di luar, lalu kembali menatap ayahnya.

“Anda datang dari Tokyo, benar?” Tanya ayahnya.

“Ya, dari Tokyo.”

“Anda pasti naik kereta cepat.”

“Benar,” kata Tengo. “Hanya sampai Tateyama. Setelah itu pindah ke kereta lokal untuk sampai ke sini, Chikura.”

“Anda datang untuk berenang?” Tanya ayahnya.

“Aku Tengo, Tengo Kawana, Anakmu.”

Kerutan di dahi ayahnya terlihat semakin dalam. “Banyak orang berbohong karena tidak mau membayar biaya berlangganan NHK.”

“Ayah!” panggil Tengo. Dia tidak pernah mengatakan kata itu untuk waktu yang lama. “Aku Tengo. Anakmu.”

“Aku tidak memiliki anak,” katanya.

“Kamu tidak memiliki anak,” ulang Tengo.

Ayahnya mengangguk.

“Jadi aku ini siapa?” tanya Tengo.

“Kamu bukan apa-apa,” kata ayahnya, sambil menggelengkan kepalanya dua kali.

Tengo menarik napas. Dia tidak dapat menemukan satu kata pun untuk diucapkan. Ayahnya, juga tidak memiliki kata-kata yang perlu ia ucapkan. Mereka berdua duduk terdiam, menelusuri pikirannya sendiri yang kusut. Hanya tonggeret yang bernyanyi lantang.

Mungkin dia mengatakan yang sebenarnya, pikir Tengo. Ingatannya mungkin telah hancur, tetapi kata-katanya mungkin saja benar.

“Apa maksudmu?” Tanya Tengo.

“Kamu bukan apa-apa,” ayahnya mengulangi, tidak ada emosi dalam suaranya. “Kamu bukan apa-apa, kamu bukan apa-apa, dan kamu tidak akan menjadi apa-apa.”

Tengo ingin beranjak dari kursinya, berjalan ke stasiun, dan kembali ke Tokyo pada saat itu juga. Tetapi dia tak mampu berdiri. Dia seperti pemuda yang terjebak di kota kucing. Dia begitu ingin tahu. Dia menginginkan jawaban yang jelas. Ada bahaya yang mengintai, tentu saja. Tetapi jika dia menyia-nyiakan kesempatan ini, dia kehilangan kesempatan untuk mengetahui rahasia tentang dirinya sendiri.  Tengo menyusun dan menyusun ulang kata-kata yang ada di kepalanya hingga akhirnya ia siap untuk mengucapkannya. Ini adalah pertanyaan yang ingin ia tanyakan sejak kecil, tetapi tak kunjung ia ungkapkan: “Apakah maksudmu, kamu bukanlah ayah kandungku, benar? Bahwa kita tidak memiliki hubungan darah?”

“Mencuri gelombang radio adalah tindakan yang melanggar hukum,” kata ayahnya, menatap mata Tengo. “Tidak ada bedanya dengan mencuri uang atauapun barang berharga, bukankah begitu?”

“Mungkin kamu benar.” Tengo memutuskan setuju kali ini.

“Gelombang radio tidak tersebar ke udara dengan bebas seperti hujan atau salju,” kata ayahnya.

Tengo menatap kedua tangan ayahnya. Mereka tergeletak rapi di atas kedua lututnya. Tangan yang kecil dan gelap, terbakar matahari selama bertahun-tahun kerja di lapangan.

“Ibu kandungku tidak benar-benar mati karena sakit saat aku kecil, bukan?” Tanya Tengo, pelan.

Ayahnya tidak menjawab. Ekspresi wajahnya tidak berubah, dan tangannya tidak bergerak. Matanya tertuju pada Tengo, seolah-olah mengamati sesuatu yang belum pernah ia lihat.

“Ibuku meninggalkamu. Dia meninggalkanmu dan juga aku. Dia pergi dengan lelaki lain. Apakah aku salah?”

Ayahnya mengangguk. “Tidak baik mencuri gelombang radio. Kamu tidak bisa lolos begitu saja.”

Pria ini mengerti dengan jelas pertanyaanku. Hanya saja, ia tak mau menjawabnya secara langsung, pikir Tengo.

“Ayah,” Tengo memanggilnya. “Kamu mungkin bukan ayahku yang sebenarnya, tetapi aku akan memanggilmu begitu mulai saat ini karena aku tak tahu harus memanggil apa selain itu. Sejujurnya aku tak pernah menyukaimu. Mungkin bahkan telah membencimu selama ini. Kamu juga tahu itu, bukan? Tetapi, setelah mengetahui bahwa kita tak memiliki hubungan darah, aku tidak punya alasan lagi untuk membencimu. Aku tidak tahu apakah aku menyukaimu, tetapi kupikir, setidaknya aku harus memahamimu lebih baik daripada selama ini. Aku tidak selalu ingin tahu tentang siapa diriku dan darimana aku berasal. Jika kamu bersedia mengatakan yang sebenarnya sekarang, aku tidak akan membencimu lagi. Bahkan, aku akan menyambut kesempatan untuk tidak perlu membencimu lagi.

Ayah Tengo tetap menatap matanya dengan mata tanpa ekspresi. Tetapi Tengo merasa ia seperti melihat secercah cahaya kecil di suatu kedalaman sarang burung walet yang kosong itu.

“Aku bukan siapa-siapa,” kata Tengo. “Kamu benar. Aku seperti seorang yang dilemparkan ke tengah lautan pada malam hari, terapung-apung seorang diri. Aku berhasil keluar, tapi tak seorangpun menyambutku. Aku tidak memiliki apa-apa. Satu-satunya hal yang bisa disebut keluarga yang kumiliki adalah dirimu, tetapi kau berpegang pada rahasia itu. Sementara itu, ingatanmu memburuk dari hari demi hari. Seiring dengan melemahnya ingatanmu, kebenaran tentang diriku pun akan menghilang. Tanpa adanya kebenaran, aku bukanlah apa-apa, dan tidak akan pernah menjadi apa-apa. Kamu benar tentang itu juga.”

“Pengetahuan adalah modal sosial yang berharga,” kata ayahnya dengan nada datar. Suaranya agak lebih pelan daripada sebelumnya, seolah ada orang yang mengulurkan tangan untuk mengecilkan volumenya. “Itu adalah modal yang harus dikumpulkan hingga berlimpah dan digunakan dengan sangat hati-hati. Itu juga harus diwariskan kepada generasi berikutnya dalam bentuk yang bermanfaat. Karna alasan itu juga, NHK harus menarik biaya berlangganan…”

Dia memotong perkataan ayahnya. “Ibuku semacam apa dia? Ke mana ia pergi? Apa yang terjadi dengannya?

Ayahnya menghentikan ocehannya, mulutnya terkatup rapat.

Dengan suara lebih lembut, Tengo melanjutkan. “Aku sering mendapat semacam penglihatan−selalu sama, dan berulang-ulang. Aku menduga, itu bukan penglihatan yang berasal dari ingatan pada sesuatu yang benar-benar terjadi. Aku berusia satu setengah tahun, dan ibuku ada di sampingku. Dia berpelukan dengan seorang lelaki muda. Lelaki itu bukan kamu. Aku tidak tahu siapa dia, tetapi yang jelas bukan kamu…”

Ayahnya tidak mengatakan apapun. Tetapi matanya, menatap sesuatu yang lain−sesuatu yang tidak ada di sana.

“Aku ingin tahu, bersediakah jika aku memintamu membacakan sesuatu untukku,” kata ayah Tengo dengan nada formal setelah jeda yang panjang. “Penglihatanku memburuk, sehingga aku tidak bisa membaca lagi. Di rak itu ada beberapa buku. Pilih yang kamu suka.”

Tengo bangkit dan melihat-lihat buku yang ada di rak. Sebagian besarnya adalah novel sejarah bersetting zaman kuno di mana para samurai menjelajahi negeri itu. Tengo tidak bisa memaksakan dirinya untuk membacakan ayahnya buku-buku tua yang penuh bahasa kuno.

“Jika kamu tidak keberatan, aku akan membacakan cerita tentang kota kucing,” kata Tengo. “Ada di dalam buku yang sedang kubawa untuk kubaca.”

“Cerita tentang kota kucing,” kata ayahnya, mengecap kata-kata itu. "Tolong bacakan itu untukku, jika tidak merepotkanmu.”

 Tengo melihat arlojinya. “Tidak masalah sama sekali. Aku punya banyak waktu sebelum keretaku berangkat. Itu adalah cerita yang aneh. Aku tidak tahu apakah kamu akan suka atau tidak.”

Tengo mengeluarkan bukunya dan memulai membaca perlahan, dengan suara yang terdengar jelas−berhenti dua atau tiga kali di tengah jalan untuk mengatur napas. Dia melirik ayahnya tiap kali berhenti membaca, tetapi tidak telihat ekspresi di wajahnya. Apakah dia menikmati ceritanya? Dia tidak tahu.

“Apakah di kota kucing itu ada televisi?” Tanya ayahnya begitu selesai.

“Kisah ini ditulis di jerman pada tahun Sembilan belas tiga puluhan. Mereka belum memiliki televisi pada waktu itu. Tetapi mereka memiliki radio.”

“Apakah kucing-kucing itu yang membangun kotanya? Atau apakah manusia yang membangunnya, sebelum kucing-kucing itu datang dan tinggal di sana?” Tanya ayahnya, berbicara seolah untuk dirinya sendiri.

“Aku tidak tahu,” kata Tengo. “Tetapi tampaknya kota itu dibangun oleh manusia. Mungkin orang-orang meninggalkan kota itu  karena suatu alasan−katakanlah, mereka semua mati karena suatu wabah−lalu kucing-kucing itu datang dan tinggal di sana.”

Ayahnya mengangguk. “Ketika kekosongan tercipta, sesuatu harus datang untuk menempatinya. Itu yang akan di lakukan semua orang.”

“Setiap orang melakukan  itu?”

“Benar sekali.”

“Kekosongan macam apa yang kau tempati?”

Ayahnya cemberut. Lalu dia berkata dengan sentuhan sarkasme dalam suaranya, “Apa kau tidak tahu?”

“Aku tidak tahu,” kata Tengo.

Lubang hidung ayahnya mengembang. Satu alisnya sedikit terangkat. “jika kamu tidak dapat memahaminya tanpa penjelasan, kamu tidak dapat memahaminya dengan penjelasan.”

Tengo menyipitkan mata, mencoba membaca ekspresi pria itu. Belum pernah ayahnya menggunakan bahasa yang aneh dan sugestif seperti itu. Dia selalu bicara dengan konkret dan praktis.

“Aku paham. Jadi kamu menempati semacam ruang kosong,” kata Tengo. “Baiklah, kalau begitu, lalu siapa yang akan mengisi kekosongan yang kau tinggalkan?”

“Kamu,” kata ayahnya, mengangkat jari telunjuk menuding langsung ke arahnya. “Bukankah sudah jelas? Aku telah mengisi kekosongan yang ditinggalkan orang lain, jadi kamu akan mengisi kekosongan yang akan kutinggalkan.”

“Begitulah kucing-kucing itu memenuhi kota setelah orang-orang meninggalkannya.”

“Benar,” kata ayahnya. Lalu menatap hampa pada jari telunjuknya.

Tengo mendesah. “Lalu, siapa sebenarnya ayahku?”

“Hanya ruang kosong. Tubuh ibumu bersenggama dengan kekosongan itu dan melahirkanmu. Aku mengisi kekosongan itu.”

Setelah mengatakan begitu banyak hal, ayahnya menutup mata dan mulutnya.

“Dan kau membesarkanku setelah dia pergi? Apakah itu yang kau maksud?”

Setelah membersihkan tenggorokannya, ayahnya berkata, seolah mencoba menjelaskan kebenaran sederhana kepada seorang anak yang lamban, “Itulah mengapa aku berkata, ‘jika kamu tak dapat memahaminya tanpa penjelasan, kamu tidak dapat memahaminya dengan penjelasan.”

Tengo melipat tangan di pangkuan, dan menatap lurus ke wajah ayahnya. Pria ini bukanlah cangkang kosong, pikirnya. Dia manusia berdarah-daging, dengan jiwa sempit dan keras kepala. Dia tidak memiliki pilihan lain selain berdamai dengan kekosongan yang perlahan-lahan menjalar ke dalam dirinya. Akhirnya, kekosongan itu akan menelan setiap kenangan yang ada padanya. Hanya masalah waktu.

 

Tepat sebelum  pukul enam sore, Tengo mengucapkan selamat tinggal pada ayahnya. Sembari menunggu taksi datang, mereka duduk saling berhadapan di dekat jendela, tanpa berkata sedikit pun. Tengo memiliki begitu banyak hal yang ingin ia tanyakan, tetapi tahu, dia tidak akan mendapatkan jawaban. Bibir ayahnya akan terkatup rapat mengatakan itu padanya. Jika kamu tidak dapat memahami sesuatu tanpa penjelasan, kamu tidak dapat memahaminya dengan penjelasan. Seperti yang dikatakan ayahnya.

Ketika waktu untuk pergi semakin dekat, Tengo berkata, “Kamu memberitahku begitu banyak hari ini. Memang tidak langsung dan kadang kurang kupahami, tetapi mungkin itu sejujur dan seterbuka yang bisa kau upayakan. Aku sangat bersyukur untuk itu.”

Ayahnya tetap tak berkata apa pun, tatapannya terpaku ke depan, seperti tatapan seorang prajurit yang sedang berjaga. Tengo mencoba mengikuti pandangan ayahnya, tetapi di luar sana hanya ada hutan pinus yang tersiram oleh warna matahari tenggelam.

“Maaf harus mengatakannya, tetapi hampir tidak ada yang dapat ku lakukan untukmu−selain berharap peroses pembentukan ruang kosong dalam dirimu bukanlah sesuatu yang menyakitkan. Aku yakin kau sudah banyak menderita. Kau mencintai ibuku sedalam yang kau bisa. Aku tahu itu. Tapi dia pergi, dan itu pasti sulit bagimu−seperti tinggal di kota kosong. Tapi tetap saja, kamu tetap saja kau membesarkanku di kota kosong itu.”

Sekelompok gagak terbang menyapu langit, mengaok-ngaok. Tengo berdiri, mendekati ayahnya dan memegang pundaknya. “Selamat tinggal, ayah. Aku akan datang lagi, segera.”

Dengan satu tangannya di kenop pintu, tengo berbalik untuk terakhir kalinya dan terkejut melihat setitik air mata menetes dari mata ayahnya. Air mata itu merayap pelan di pipinya dan jatuh ke pangkuannya. Tengo membuka pintu dan meninggalkan ruangan. dia kemudian naik taksi dan pergi ke stasiun.


- Disalin dari buku "Kota Kucing dan kisah-kisah Lainnya", kumpulan cerita-cerita pendek Haruki Murakami terbitan Odyssee, tahun 2019.

Comments