Oleh: A.S Laksana
Burung-burung yang terbang di langit punya rumah untuk pulang. Ketika matahari surut dan malam jatuh ke tanah mereka mendengur di sarang yang hangat di rimbun pohon-pohon. Namun aku tidak punya rumah. Setiap hari aku tersere-seret di jalanan dan tak tahu ke mana pulang. Butir-butir debu dan asap kendaraan dan hari-hari nahas, membuat tubuh dan pakaianku kumal.
Semua
orang semula menyebutku gelandangan. Namun orang-orang yang berhati lembut
mungkin tak bisa tidur mendengar sebutan itu, maka mereka persembahkan untukku
sebutan baru. Kini aku disebut tuna wisma, sebuah julukan yang lebih halus
ketimbang gelandangan. Tapi nasibku sendiri tidak berubah. aku tetap tak punya
rumah, dan burung punya rumah.
Hari-hari
belakangan sungguh mencekam. Begitu gelap turun, udara malam terasa menekan.
Tiap sebentar aku melihat iring-iringan patroli polisi. Mereka mungkin tidak
percaya pada malam sehingga selalu berjaga di atas mobil. Masing-masing
menggenggam sepucuk senapan karena mereka polisi.
Suatu
hari polisi yang tidak memahami keadaanku menghardik aku.
“Kenapa
kau berkeliaran di jalan malam-malam begini?”
“Aku
harus berkeliaran di mana?”
“Masuklah
ke dalam rumahmu.”
“Aku
seorang gelandangan. Maksudku, tuna wisma.”
“Kau
melanggar jam malam, tahu!”
“Aku tak
pernah melihat jam, siang dan malam aku di jalanan.”
“Kau
menjengkelkan. Apa yang kau bawa itu?”
“Tas
plastik hitam.”
“Aku
sudah tahu. Apa isinya?”
Polisi
itu menjengkelkan. Ia ingin tahu segala hal dan tak mudah diyakinkan sebab ia
polisi. Kubuka tas plastik yang kujinjing, ia
melototi sisa makanan dalam tas plastik
itu. Teliti sekali. Seperti mencari bom di
sela-sela tiap butir nasi.
“Mana surat-suratmu?”
Wah! Ia masih bertanya lagi.
Kutanyakan kepadanya, apakah seorang gelandangan
memerlukan surat-surat. Menurutku, orang tak perlu mengirimkan surat lamaran
untuk menjadi gelandangan. Karena itu itu aku sama sekali tidak pernah
memikirkan surat-surat. Ia meringkusku sebagai orang yang “gerak-geriknya
mencurigakan” dan dimasukannya aku ke dalam mobil patroli.
Tiga hari aku makan dan minum dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan di kantor polisi. Beberapa pertanyaan diulang-ulang dan
aku mengulang-ulang jawaban. Setelah tidak ada lagi pertanyaan yang diulang,
dan demikian tidak ada jawaban yang perlu kuulang, aku dilepaskan. Aku berjabat
tangan dengan polisi yang menangkap dan kemudian melepaskanku itu.
“Kalau kau seorang gelandangan, berlakulah sebagai
gelandangan. jangan ikut-ikutan turun ke jalan,” pesannya.
“Aku memang gelandangan. Maksudku tuna wisma. Jadi harus
turun ke mana?”
“Jangan ikut-ikutan berpolitik.”
Aku menjawab, “Baiklah!” dan berjanji tidak akan
mendirikan partai politik. Aku hanya akan menjadi gelandangan yang baik. Sebab
gelandangan yang baik adalah warga negara yang baik.
*****
Umurku sebelas, mungkin dua belas, atau mungkin tiga
belas tahun. Tak pernah kukunjungi catatan tentang saat kelahiranku. Aku
menyukai jalanan karena tidak punya tempat untuk pulang. Meskipun polisi
menyuruhku untuk tidak turun ke jalan, aku tetap turun ke jalan. Tentu saja aku
memiliki ayah dan ibu dan belajar membaca doa-doa. Dan tenatng ayah dan ibuku,
aku tidak akan menceritakan barang secuilpun siapa dan bagaimana mereka.
Aku lebih mengenal jalan. Karena aku tidak punya rumah
sedangkan burung punya rumah. Jika
letih, aku bisa tidur di mana saja. Tadi malam aku tidur di pasar dan
bangun pagi ketika cahaya matahari menyelinap dari celah-celah tenda plastik
jatuh menimpa mukaku. Telingaku terganggu oleh bising tawar-menawar. Aku
bergerak malas di antara para penjual, dan ibu-ibu berbelanja, dan para kuli
pengangkut beras yang menyunggi karung di pundaknya.
Sekitar lima ratus dari pasar ada gedung tua yang pernah
terbakar dan di depannya ada pipa air yang bocor. Aku menuju ke sana.
Dinding-dinding bangunannya masih tegak dan berwarna hitam. Hanya atapnya sama
sekali habis dimakan api. Beberapa gelandangan dan pelacur menemukan tempat
tinggal yang menyenangkan di puing
geding itu. Mereka merentangkan plastik terpal sebagai atap pelindung
bagi tempat tinggal mereka.
Aku mencuci muka di tempat pipa bocor dan sesudahnya
menghilang ke bagian yang cukup tersembunyi di belakang gedung. Pagi itu
seperti pagi-pagi sebelumnya. Beberapa orang masih lelap di bawah atap-atap
plastik, dua orang lagi sedang menghisap sekaleng lem bersama-sama. Di belakang
rumah kunyalakan sebatang rokok yang kusimpan di saku baju dari kemarin, kubuka
kancing celanaku, dan jari-jari tanganku segera melakukan pekerjaan rutinnya.
Sipah muncul dan tiba-tiba mencolek kepalaku sambil
tertawa. Giginya besar-besar dan gincunya menyala-nyala. Aku menghentikan
pekerjaanku dan memandanginya dengan takjub seperti melihat datangnya mukjizat
yang lama kutunggu-tunggu.
“Aku punya uang lima ribu.”
Kurogoh sakuku dan kutunjukan kepadanya selembar lima
ribuan.
“Anak kecil nggak boleh. Lagi pula siang-siang begini.”
“Tak ada yang melihat,” kataku lagi.
Tangannya menggantikan tanganku dengan cekatan. Sipah
orang yang baik, ia sering membelikan aku makanan jika aku tidak punya uang
sama sekali. Kuisap rokokku, kupejamkan mataku, kurasakan tangan sipah di
kelaminku. Aku membayangkan permpuan bule yang tinggi dan cantik. Kemarin aku
melihatnya di stasiun. Tak kulepaskan pandanganku padanya, sejak ia turun dari
kereta sampai hilang dibawa taksi.
“Kamu mebayangkan bule, ya?” tanya Sipah.
“Kemarin ada yang cantik sekali di stasiun,” sahutku.
*****
Pernah kudengar,
dari ibuku, cerita tentang raja besar yang suka menyusuri jalan. Ia mengenakan jubah
hitam panjang dan turun ke jalan ketika gelap datang. Ia mampir ke rumah-rumah
sebagai tamu yang tidak dikenali dan melongokan matanya ke dalam panci yang
dijerang di atas tungku oleh ibu-ibu. Ia ingin tahu apa yang ditanak oleh
mereka: ataukah nasi, ataukah batu.
Aku menyusuri jalan sepanjang siang sepanjang malam
seperti raja besar yang diam-siam ingin melihat nasib rakyatnya. Namun aku tak
bisa mampir ke rumah-rumah. Belakangan ini semakin sulit mampir ke rumah-rumah
karena setiap rumah memasang pengumuman. “Maaf tidak menerimapungutan atau
sumbangan apapun kecuali adaizin dari RT/RW setempat.”
Karena aku tak pernah berurusan dengan RT/RW setempat,
maka pintu-pintu rumah tertutup bagi aku. Tapi itu bukan persoalan besar
bagiku. Aku seorang gelandangan dan hidup yang kujalani tidak bersandar kepada
daun pintu rumah orang.
Seorang gelandangan berpijak pada tanah dan tanah, kata
ibuku, menyediakan rezeki dari siapa saja. Juga langit. Tanah mempersembahkan
bulir-bulir padi dan langit menjatuhkan hujan. Tidak hanya kepada orang-orang
yang hatinya baik, tapi juga kepada orang-orang yang hatinya busuk. Tidak hanya
kepada yang dermawan, tapi juga kepada yang pura-pura baik, yang suka menyiksa
orang, atau yang suka mencuri dan mencincang rezeki orang lain. Tidak hanya
kepada orang yang punya rumah, tapi juga kepada gelandangan. Tanah dan langit
memberikan rasa kasih kepada semua orang.
“Tapi kenapa orang jahat rezekinya banyak?” aku pernah
bertanya demikian kepada ibu. Di mataku terbayang lintah-lintah itu. Mereka tak
hanya mengisap darah langit dan bumi, tapi sumsung tulangmu.
“Tuhan maha adil, semua rezeki orang sama,” jawab Ibu.
“Tapi kenapa orang jahat rezekinya banyak?”
“Mereka makan rezeki orang lain.”
“Kenapa tidak diminta kembali?”
“Mungkin tidak ada yang berani?”
“Kalau aku besar aku berani.”
“Jangan lupa menyebut nama Tuhan.”
Makin bertambah usia makin tahu aku bahwa rezeki bisa
datang lewat siapa saja. Kadang-kadang gampang datangnya, kadang-kadang sulit.
Nasib manusia bisa seharum kelopak mawar, dan sama busuknya dengan bau kakus.
Bila nasib sedang baik, tak usalah kau berpikir dari mana datangnya rezeki.
Tiba-tiba akan datang padamu seseorang yang hatinya baik dan memberimu segepok
uang tanpa alasan dan itu cukup menghajar rasa laparmu seharian. Atau tiba-tiba
di depanmu muncul seorang juragan kaya yang ceroboh, dan tiba-tiba kau memiliki
kesempatan untuk mencuri sebagian miliknya. Jika kesempatan itu datang padaku,
aku selalu berdoa menyebut nama Tuhan sebelum melakukan apa yang harus
kulakukan. Aku mempunyai ayah dan ibu dan aku belajar membaca doa-doa.
Adakalanya rezekiku tidak bagus (dan ini cukup sering).
Jika sedang buruk peruntunganku, maka aku harus pintar membelanjakan uangku
agar tidak cepat habis. Aku belajar dari Iton bagaimana cara mengatur
belanjaan. Iton mengajarkan kepadaku bahwa sekaleng kecil lem dapat membawa
seseorang ke bumbungan atap tanpa rasa lapar. Aku membuktikannya dan ia benar.
Kubeli sekaleng kecil lem dan kubuka tutupnya, dan
kudekatkan mulut kaleng itu ke hidungku. kuisap kuat-kuat uapnya. Tubuhku
melayang-layang seperti gelembung sabun dan aku tak merasa lapar seharian.
Sejak saat itu aku tahu, jika aku hanya punya sedikit uang, pertama-tama yang
kubeli adalah sekaleng lem.
Hanya dengan sekaleng lem aku berani menghadapi apapun
dan mepersetankan siapa pun. Bahkan jika datang kepadaku seseorang
dermawan yang berniat menimbunku dengan
harta kekayaannya, akan ku tolak ia. Aku tak membutuhkan siapa pun, karena
perut yang melilit tak lagi kurasakan.
“Bawalah kembali uangmu. Aku tak membutuhkannya,”
begitulah yang kukatakan seandainya mereka datang.
“Kenapa kau menolak rezeki yang datang padamu?”
“Aku tidak butuh lagi kebaikanmu.”
“Kau butuh makan, perutmu lapar.”
“Tak usah merayuku.”
“Aku ingin menolongmu.”
“Aku tak ingin menerima apapun darimu.”

Comments
Post a Comment