![]() |
Image: Johannes Gutenberg, 1904 reconstruction |
Saya
akui saya belum punya tradisi (bukan semata minat dan motivasi) baca yang baik.
Saya sering bermasalah ketika harus mendisiplinkan diri untuk luangkan waktu
untuk baca, atau sekadar 50 hingga 150 lembar sehari. Sikap baca saya masih
angin-anginan. Ketekunan baru terjadi
ketika saya merasa butuh, misal untuk kepentingan penelitian atau bahan ajar;
menjawab pertanyaan sulit dari Naya (anak saya); buku itu menarik hati dan
bermanfaat bagi saya; merasa kehabisan pembendaharaan pengetahuan; merasa
sangat kudet dan tidak tahu apa-apa; atau merasa malu pada kebiasaan baca Naya,
kedisiplinan pun muncul.
Banyak hal yang dijadikan alasan. Dan itu akan dimaklumi.
Hingga kemudian saya teringat seseorang. Di seberang rumah orang tua saya, di
Padang, kami pernah memiliki seseorang imam masjid. Nama beliau Alm. M. Dahar.
Beliau tutup usia umur 97 tahun. Hal yang menarik hati saya, kenyataan beliau
tidak pikun, umumnya seusia beliau. Beliau masih bisa diajak diskusi tentang
banyak hal, bahkan perkembangan politik dan ekonomi masa itu. Suara beliau
sangat lantang, intonasi jelas, dan pemaparannya pun logis dan sistematis. Saya
selalu meluangkan waktu tiga jam sehari untuk membaca. Memang setiap sore. Saya
selalu melihat beliau duduk santai di teras sambil baca buku, koran, majalah,
dan kitab suci.
Tidak semua orang bisa disiplin seperti beliau untuk
urusan baca. Bahkan mungkin para akademisi sekalipun (saya berkaca pada diri
saya). Lantas ketika pertanyaan, “Kenapa ya, di Indonesia minat baca masih
rendah, tidak seperti di luar negri, di mana-mana orang asik membaca buku?”
diajukan, berbagai argumen seketika muncul. Dalam tulisan ini, saya coba
sampaikan satu-dua argumen yang lazim saya gunakan.
Kebiasaan baca masyarakat Indonesia bukan perkara baru.
Lebih dari dua dekade berbagai gagasan telah dipraktikkan dalam menumbuhkan dan
membangun tradisi baca. Berbagai program diluncurkan lembaga pemerintahan,
bahkan setingkat kementrian. Di luar itu, berbagai asosiasi, lembaga dan
komunitas yang bersifat non pemerintah pun ikut bagian. Terbaru dan masih
memberikan gema euforia di berbagai lapisan masyarakat (meskipun aktivitas ini
sudah dimulai jauh sebelumnya dengan nama yang berbeda), gerakan bertajuk
literasi. Gerakan ini dielu-elu menunjukkan hasil signifikan dalam menurunkan
angka buta huruf masyarakat.
Baca itu sendiri pada hakikatnya merupakan sebuah capaian
budaya. Bagi umat Islam, misalnya. Membaca jadi pesan penting dan paling awal
disampaikan pada Nabi Muhammad SAW, Iqra’. Lagipula, tidak ada agama yang tidak
menganjurkan umatnya untuk baca. Membaca menjadi salah satu kompetensi yang
harus dimiliki manusia untuk meningkatkan status maupun derajat keimanannya
sebagai umat beragama.
Persoalannya, tradisi baca tidak hadir tiba-tiba, seperti
kelinci putih yang kita pikir muncul secara ajaib dari topi seorang pesulap.
Keluhan atau pertanyaan yang sering dilontarkan pejabat tinggi negara yang baru
pulang pelesir dari luar negri; “di sana, orang-orang tidak bisa lepas dari
buku. Di mana-mana mereka asik membaca. Sangat berbeda dengan masyarakat kita.
Kapan ya, kita bisa seperti mereka?” Sering bikin saya tersenyum satire.
Bagaimana tidak, nyatanya kita memang tidak suka baca. Setidaknya sejarah atau
muasal kenapa bisa kita tidak jadi masyarakat yang cerdas membaca.
Tradisi baca tidak muncul begitu saja. Terdapat proses
pembiasaan. Butuh waktu panjang untuk menjadikan aktivitas baca sebagai bagian
dari tradisi. Bahkan jika diteliti lebih jauh lagi, tradisi baca masyarakat
negara maju yang kita kagumi itu, justru semacam sikap individualis yang akut. Silent
reading atau yang lebih populer dengan “membaca di dalam hati”, juga
individual reading-membaca sendirian, faktor yang jadi pondasi tradisi baca
mereka. Sederhananya, kebutuhan untuk baca membuat individu ingin punya banyak
waktu untuk sendirian, ketimbang ngumpul, arisan, dan bergosip.
Di kalangan masyarakat Eropa, kemunculan sikap
individualisme dalam aktivitas baca ini dangat dipengaruhi penemuan teknologi
buku 2000 tahun lalu. Buku dengan berbagai bahan dasarnya, dianggap media
paling mutakhir dan tepat dalam mebentuk, menyebarkan dan memelihara ide serta
pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Tak sampai di situ, kebernilaian buku
dikokohkan oleh semua sistem religi di muka bumi dengan menjadikannya sebagia
media penyampaian wahyu (kitab).
Buku secara perlahan berubah jadi simbol peradaban. Setiap
unsur penting kebudayaan seperti ilmu pengetahuan, hukum, ekonomi, politik,
maupun sastra tidak ada yang tidak menjadikan buku sebagai media penyimpanan.
Peradaban tumbuh dan berkembang melalui buku. Hingga tidak salah jika teknik
cetak menjadi satu dari tiga penemuan yang merubah dunia. Hal tersebut pada
akhirnya menarik buku dan aktifitas baca jadi satu indikator kelengkapan
manusia sebagai makhluk hidup. Selain itu, buku dan baca jadi pembeda manusia
dengan makhluk lainnya.
Buku sebagai media penyimpanan wahyu atau kemudian
dikenal dengan istilah kitab suci, ikut andil dalam memperkenalkan altivitas
baca paling awal. Pihak agamawan menekankan pentingnya berkontemplasi dalam
kegiatan membaca. Membaca kitab suci bukan sekedar baca teks, melainkan
mendengarkan instruksi suci dari sang pencipta, tentu saja hal ini sangat
bersifat personal, dilakukan sendiri, di waktu-waktu tertentu, dan jauh dari
segala kebisingan yang sangat duniawi. Gerejawan, misionaris, dan agamawan,
gencar melakukan kampanye membaca yang sedemikan rupa pada masa awal kemunculan
agama.
Buku dan membaca pun berkembang menjadi simbol yang
bersifat male-chauvinistik, seorang pria yang bawa buku dan baca sambil
bersantai atau duduk di kedai kopi, dianggap keren. Situasi ini berkembang
subur pada awal tahun 1400 khususnya di kalangan kelas menengah dan pedagang di
Florence, Italia. Masyarakat masa itu juga meyakini bahwa salah satu cara untuk
mengangkat strata sosial, melalui jalur pendidikan. Pendidikan dapat ditempuh
jika memiliki kecerdasan individual dan memperbanyak aktivitas baca. Jalur ini
jadi alternatif lelaki kelas bawah untuk memperbaiki status dan kedudukan
sosial dalam masyarakat. Tentu saja perkembangan orang yang baca mengalami
peningkatan. Mau tidak mau, mendorong pasar untuk menyediakan bacaan dalam
jumlah yang lebih banyak.
Tahun 1445, seorang pandai besi dari Mainz Jerman,
Johanes Guttenburg, memperkenalkan mesin cetak modern pertama kepada dunia.
Penemuan ini mendorong produksi buku. Buku yang awalnya hanya bisa dinikmati
oleh kalangan tertentu dengan teks yang memuat kepentingan gereja, mulai
mengalami pergeseran.
Di manakah kehadiran Indonesia dalam perkembangan tradisi
baca tersebut? Sayangnya, Indonesia tertinggal ratusan tahun lamanya. Ketika pihak
agamawan mengampanyekan pentingnya membaca kitab suci, masyarakat indonesia
masih terlibat perang saudara untuk perluasan wilayah kerajaan-kerajaan di
Nusantara. Jika pun kita mengenal kitab dan teknik penulisan pada lontar atau
media tradisional lainnya, masih bersifat ekslusif dan milik kalangan atau
ningrat semata. Ketika negara-negara di Eropa bersukacita atas penemuan
Guttenburg, Indonesia baru bisa menikmatinya 200 tahun setelah Guttenburg
wafat, tahun 1659. Itu pun berkat kemurahan hati seorang misionaris Belanda
yang bertugas ke pulau Jawa. Meskipun mereka menggunakannya untuk memperkuat
kolonisasi dan kepentingan misionaris Nusantara, setidaknya ada napas baru yang
dibawa dalam catatan perbukuan di Indonesia.
Lagipula, Masyarakat kita sangat gemar bergotong-royong,
berembuk, berdikusi, mengenai banyak hal, bahkan perkara cicak yang terjepit di
kolong tempat tidur sekali pun. Sehingga, alasan-alasan kenapa kita tidak
memiliki tradisi baca seperti mereka, bisa dikemukakan dengan lantang.
Sayangnya, sampai kapan kita terus-menerus berkutat pada dalih semacam itu?
-Disalin
dari buku “Dongeng Panjang Literasi Indonesia,” sebuah kumpulan esai-esai Yona
Primadesi, yang diterbitkan oleh Penerbit Kabarita, tahun 2018.

Comments
Post a Comment