Literasi: Bukan Sekedar Baca Tulis

 


Sudah hampir tiga tahun sejak saya memutuskan ganti bahasan disertasi. Saya pilih pusatkan perhatian pada dunia literasi, khususnya anak-anak. Berharap, bisa sumbang semacam gagasan atau pendekatan yang jadi alternatif kegiatan literasi. Saya harus baca berbagai sumber relevan, entah jurnal atau buku. Saya juga mulai libatkan diri, terjun langsung terkait dunia literasi. Harapannya, peluang semacam berbagai ide, gagasan, atau sudut pandang yang bisa saya gunakan, setidaknya sekedar menulis esai-esai pendek dan sederhana seperti dalam buku ini terkait literasi dan anak.

Eksplorasi saya mulai ketika masih di Jatinangor, Jawa Barat. Bersama Naya dan Nermi Silaban, dirikan semacam rumah kreatifitas bagi anak-anak. Kami beri nama Rumah Kreatif Naya. Kami juga mulai rancang rencana media, semacam asupan informasi alternatif bagi masyarakat sekolah mengenai literasi (masa itu ditujukan pada beberapa sekolah saja di kabupaten Bandung). Hingga akhirnya saya menjadi koordinator wilayah Jawa Barat oleh salah satu asosiasi pekerjaan informasi khusus sekolah (yang kemudian saya undur diri secara sepihak).

Berbagai temuan di lapangan menarik minat dan perhatian. Bukan karena luar biasa, tetapi semacam perbedaan cara pandang mengenai ruang lingkup literasi dan bagaimana sebaiknya literasi dijalankan. Kita seolah belum capai kesepakatan perkara praktik literasi (bukan teori atau landasan konsep).

Misal saja, beberapa kelompok berasumsi literasi perkara buku dan dunia perbukuan. Kelompok lain menyikapi literasi sebagai gerakan baca. Sementara pada kelompok lainnya, pemahaman literasi sudah melampaui dua terdahulu. Meski kenyataan, rumusan perkara literasi sudah didudukan dan diputuskan bersama, tetapi kesepahaman masih belum terbentuk. Akibatnya, memungkinkan praktik literasi kurang selaras.

Saya pernah dengar argumen seorang kawan mengenai hal tersebut. Menurutnya, literasi dengan literasi informasi berbeda. Jika literasi fokus urusan baca tulis, seperti yang dikerjakan. Literasi informasi, urusan teman-teman di jurusan Ilmu Informasi dan perpustakaan dan kaum elit literasi.

Saya sedih denger penjelasan itu. Di lain kesempatan, saya coba tanya teman-teman yang mendaku diri sebagai pegiat literasi dan aktif dalam kegiatan literasi. Kenyataannya, pemahaman literasi yang mereka amini, berasa seputar perbukuan dan membaca. Entah itu penerbitan buku, distribusi buku, hingga bagaimana memintas masyarakat untuk gemar buku. Senyum terasa makin kecut.

Tak salah-salah amat argumen tersebut. Sayangnya, untuk bisa membangun budaya literasi, perlu ada kesepahaman. Entah itu perkara definisi, ruang lingkup, maupun praktiknya. Sebab literasi itu bukan kerja individual. Literasi kerja bersama, kerja jaringan dan berkesinambungan. Jadi, apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan literasi? Apakah literasi perkara baca-tulis dan perbukuan atau hal lain yang lebih besar?

Saya coba tarik dari beberapa penelitian yang terpublikasi, baik dalam atau luar negri. Hasil penelitian, dominan merujuk literasi pada hal-hal yang berhubungan dengan keberaksaraan. Literasi pada anak usia dini lebih bicara mengenai pemerolehan bahasa atau kemampuan baca tulis yang dilihat dari  perkembangan kognisi anak. Di beberapa penelitian, melihat literasi dalam tataran yang lebih kecil, yakni keluarga. Perkara langkah-langkah keluarga dalam proses belajar anak atau mungkin pengaruh resapan bahasa dan kemampuan baca terhadap prestasi akademis. Literasi dalam beberapa hasil riset terpublikasi memang merujuk pada keberaksaraan. Lantas, apakah literasi itu memang semata perkara baca tulis?

Berbagai tokoh sudah memberi definisi literasi dengan banyak corak. Mulai dari batasan literasi yang di hubungkan dengan keberaksaraan, hingga cakupan yang lebih luas. Tapi ada hal yang perlu kita cermati bersama, yaitu perkembangan jaman dan perubahan sosial budaya masyarakat.

Misal, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, sudah menyebabkan pergeseran nilai dalam masyarakat. Jika dulu orientasi masyarakat adalah industri, maka kemudian beranjak pada informasi sebagai komoditi. Perubahan struktur global tersebut dikenal dengan istilah masyarakat informasi.

Modal yang pada awalnya sumber daya alam kemudian beranjak pada pengetahuan dan informasi. Tak ada yang bisa membendung kemunculan informasi tersebut di masyarakat. Saya sedang duduk menikmati kopi pagi saya di kota Yogyakarta, sangat mudah menjadapat berita tentang anjing yang tersangkut di pohon di California, Amerika. Dunia hadir tanpa batasan. Persoalannya, tidak semua informasi yang hadir itu bermanfaat. Bahkan tidak sedikit yang tidak faktual alias hoax.

Tentu saja ini menuntut perubahan cara berpikir dan bersikap individu. Kita harus fleksibel, menyesuaikan jaman. Tidak bisa sebaliknya. Apa jadinya ketika misalnya isu mengenai pembantaian etnis dari satu sumber dijadikan satu-satunya kebenaran.

Oleh karenanya, individu dituntut mampu untuk memfilter informasi-informasi sesuai dengan kebutuhannya, tidak sampai di situ, informasi yang sesuai kebutuhan pun harus di filter lagi perkara keakuratan dan kredibilitasannya. Belum cukup sampai di situ, individu juga harus mampu mengolah informasi tersebut menjadi komoditi baru, paling tidak untuk konsumsi internalnya. Jika individu memiliki kompetensi tersebut, maka niscaya ia tidak akan tersesat dalam perang informasi akhir-akhir ini. Kemampuan itulah yang kemudian dikenal dengan istilah literasi informasi.

Untuk mempertegas, kesempatan kali ini, saya coba tarik dua pendapat saja, yang dijadikan acuan dalam praktik literasi di seluruh dunia: Deklarasi Praha dan UNESCO. Memang benar, literasi menurut dua pendapat ini mencakup segala aspek dan aktifitas kehidupan individu, tidak semata melek huruf. Istilah literasi macam begini sudah diperkenalkan sejak tahun 1978. Setelahnya, muncul berbagai semboyan, salam, bahkan slogan yang menggandeng kata literasi. Sebut saja: salam literasi, literasi ekonomi, literasi keuangan, literasi informasi, literasi Kriya, literasi politik dan masih banyak lagi.

Dekralasi Praha yang digagas PBB tahun 2003 juga merumuskan sebuah tatanan budaya literasi dunia, yang lebih dikenal dengan istilah literasi informasi (information literacy). Literasi informasi tersebut, secara umum meliputi empat tahapan yakni, literasi dasar (basic literacy); kemampuan meneliti dengan menggunakan referensi (library literacy); kemampuan untuk menggunakan media informasi (media literacy); literasi teknologi (technology literacy); dan terakhir kemampuan untuk mengapresiasi grafis dan teks visual (visual literacy).

Tahun yang sama, UNESCO mendefinisikan hakikat dan rancangan literasi yang lebih universal menurut UNESCO, literasi merupakan proses pembelajaran seumur hidup. Literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis. Ia juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya. Lalu bagaimana praktiknya di indonesia? Literasi memang memiliki kecenderungan masih dihubungkan dengan aktivitas yang berifat keberaksaraan atau baca-tulis. Berbagai kegiatan yang mengusung jargon literasi, dominan fokus pada peningkatan kemampuan baca individu.

Minat (bukan motivasi apalagi kebiasaan) baca masyarakat jadi capaian utama literasi. Jika masyarakat sudah gemar baca dan sumber bacaan tersedia dan terdistribusi dengan baik, maka sukses sudah kegiatan literasi. Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Karena kembali lagi pada penjelasan sebelumnya, kemampuan mengelola informasi tentu diawali oleh kemampuan mengenal dan membaca informasi.

Persoalannya, berbagai hasil pengukuran dan penelitian yang menjadikan aktivitas baca sebagai indikator, sering dikutip dan digunakan sebagai landasan kampanye literasi. Padahal jika mau kita baca sedikit saja sejarah keberaksaraan di indonesiam kegiatan literasi macam begini, sudah dilakukan jauh sebelumnya, hampir 2 dekade yang lalu. Hanya saja, nama kegiatan dan gemanya tidak sekeren sekarang. Hal ini justru jadi pertanyaan lain.

Jika kegiatan yang sama (dengan kemasan yang berbeda) sudah dilakukan sejah awal 1990-an, lantas mengapa kita masih berkutat pada persoalan yang itu-itu lagi? Apakah artinya, kegiatan dua puluh tahun tersebut tidak menghasilkan apa-apa? Atau kita hanya semacam epigon dan lebih suka selebrasi bukan esensinya?

 

-Disalin dari buku “Dongeng Panjang Literasi Indonesia,” sebuah kumpulan esai-esai Yona Primadesi, yang diterbitkan oleh Penerbit Kabarita, tahun 2018.


Comments